Setelah sekian lama vakum dan tak ada ide untuk menulis blog, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk menulis lagi . Hanya sekedar berbagi hikmah dan pemikiran dengan sesama. Akhirnya kantuk ini dilawan dansebagai gantinya mulailah kegiatan ketak-ketik di ujung pekan ini.
Kita mungkin pernah mendengar bahwa salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah “seorang budak melahirkan majikannya”. Kalimatnya cukup sederhana, namun makna yang terkandung tidaklah sederhana dan membawa implikasi yang sangat serius.
Jika kita hubungkan dengan konteks kekinian, hal ini sudah bukan “hil yang mustahal”. dan sangat banyak kita jumpai di sekitar kita, atau bahkan mungkin saja telah terjadi di rumah kita. Ini adalah sebuah fenomena yang memang telah umum terjadi di akhir jaman ini.
Dalam pandangan para ahli hadits, ungkapan budak telah melahirkan tuannya adalah gambaran mengenai anak yang menjadi durhaka kepada orangtuanya, terlebih kepada ibunya. Seolah-olah ibunya dijadikan budak, dan anak telah berubah menjadi tuan yang memperbudak ibunya sendiri. Ibu yang telah mengandungnya 9 bulan lebih dengan segala penderitaan dan kesusahannya (wahnan ala wahnin, Q.S Luqman:14), melahirkan, kemudian merawat dan menyayanginya sejak kecil hingga dewasa. Saat anak telah mampu mandiri, sang anak menjelma menjadi tuan, yang bisa bebas menyuruh,memerintah, bahkan memarahi ibunya. Sang anak seakan lupa akan jasa dan kebaikan ibunya. Seolah-olah dia bisa menjadi seperti sekarang ini tanpa ibu bapaknya. naudzubillahi min dzalik…..
Kita semua pasti pernah mendengar kisah Malin Kundang anak durhaka. Meskipun itu hanyalah sebuah legenda yang tidak ada jaminan keaslian kejadian tsb, namun tetap ada hikmah yang bisa kita petik dan ibroh yang bisa kita ambil. Yaitu agar kita jangan sampai mendurhakai orangtua kita. Sadar atau tidak, sengaja atau khilaf, dalam berinteraksi dengan orangtua kita selalu tersimpan potensi untuk kita mengecewakan, menyakiti, atau melukai perasaan mereka. Padahal setiap tetes airmata yang tertumpah dari mereka akan semakin menjauhkan kita dari surga akhirat yang sangat kita idam-idamkan. Mengapa kita sering lebih takut menegur atau memarahi pembantu karena khawatir mereka akan minggat , sementara kepada orangtua kita lebih bebas berekspressi memarahi, membentak, bahkan mencaci tanpa rasa takut atau khawatir akan minggatnya ridho ALLAH dari kehidupan kita ?? Tidak pernahkah terpikirkan oleh kita jika suatu saat nanti, di hari tua kita anak-anak kita memperlakukan kita seperti itu, sebagai pembalasan dunia dari ALLAH ??
Sebodoh apapun orangtua kita, merekalah yang telah mencucurkan keringatnya membiayai hidup dan sekolah kita sejak kecil hingga kita berhasil di masa kini. Semiskin apapun mereka, jangan pernah menyepelekan dan menganggap remeh mereka. Seburuk apapun yang telah diperbuat mereka kepada kita, kita tetaplah diwajibkan menggauli…. eh maksudnya mem-bergaul-i mereka dengan cara yang baik. No yelling , No Arguing, No bad words against them. Dont even say anything may hurt them. Itu kata si bule.
So, marilah kita muhasabah diri kita sendiri agar kita terhindar dari kedurhakaan terhadap orang tua. Andaipun sudah terlanjur menyakiti, atau sudah membuat mereka menangis, segeralah meminta maaf pada mereka. Selagi ALLAH masih membuka kesempatan yang sangat luas bagi kita. Karena Ridho ALLAH terletak pada ridho orangtua kita, dan surga terletak di bawah kaki ibu.
Sebagai penutup saya mengajak untuk mengingat sebuah kisah nyata dari malin kundang era abad ke-6 masehi. Yaitu tentang seorang shahabat bernama Alqamah, yang bersifat wara, taat beribadah, rajin bersedekah dsb namun mengalami kesulitan saat akan menjemput sakaratul maut. Lidahnya kelu dan tak bisa mengucap Laa-ilaha-ilallah. Ini terjadi hanya karena sang ibu tidak ridho padanya. Sampai-sampai Rasulullah SAW memerintahkan untuk menyiapkan kayu bakar untuk membakar Alqamah agar dapat menjemput ajal (Ini adalah salah satu kecerdikan Rasulullah SAW untuk meluluhkan hati Ummi Alqamah yang keukeuh tidak mau memaafkan Alqamah). Semarah apapun seorang ibu, tentunya dia tidak akan tega melihat anak yang telah dikandung, dilahirkan, dan diasuhnya mati dibakar hidup-hidup di depan matanya. Sehingga akhirnya keluarlah kemaafan sang ummi, dan diberikannya ridho nya atas Alqamah. Maka sahabat Alqamahpun dapat menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyum dan kalimat thayyibah.